Sabtu, 11 Desember 2010

PERUBAHAN EKOSISTEM

Indonesia kehilangan Rp 70 trilliun nilai ekologi hutan lindung


Indonesia akan kehilangan tidak kurang dari Rp 70 trilliun per tahun dari divestasi 925.000 ha nilai ekologi hutan lindung. Hal itu dikarenakan praktek tambang terbuka di hutan lindung Indonesia dengan adanya pengesahan Perpu No.1/2004 tentang perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Nilai divestasi sebesar Rp 70 trilliun masih parsial yang terdiri dari nilai jasa ekosistem hutan, keanekaragaman hayati, biaya lingkungan di sekitar hulu dan pemanfaatan hutan lindung secara berkelanjutan oleh masyarakat sekitar serta akumulasi nilai penurunan PDRB dan PAD di 25 kabupaten/kota tersebut.
Kehilangan nilai modal ekologi Rp 70 trilliun per tahun setara dengan hampir 70 kali lipat dari nilai penerimaan sektor tambang terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2003 yang hanya bernilai Rp 1,07 trilliun. Atau lebih besar Rp 25 trilliun dari nilai total secara nasional sumbangan sector pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2002 sekitar Rp 45 trilliun. Menurut Siti Maimunah dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang termasuk dalam Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan menjadi Pertambangan (WWF Indonesia, WALHI, Pelangi, Yayasan Kehati, Greenomics Indonesia dan lain-lain), praktek tambang di hutan lindung berdampak dalam bidang ekonomi.
Secara ekonomis pendapatan 25 kabupaten/kota tersebut akan menurun karena nilai ekologis yang mendukung perekonomian hancur. Lebih dari tujuh juta penduduk di mana sekitar 30 persen masih hidup di bawah garis kemiskinan yang selama ini menggantungkan hidupnya terhadap peranan-peranan ekologis dari hutan lindung di wilayah tempat mereka tinggal yang tersebar di 10 propinsi akan terancam.
Sekitar Rp 23,05 trillun per tahun nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di 25 kabupaten/kota tersebut akan menyusut, setidaknya ketika modal ekologi terdivestasi pada tingkat yang signifikan selama 14 tahun ke depan. Nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya sekitar Rp 93 milyar pada tahun 2003 juga akan terdivestasikan, karena praktek tambang terbuka di hutan lindung akan menciptakan perekonomian local serba mahal.
Hal tersebut merupakan konsekwensi logis dari divestasi peranan ekologis hutan lindung yang dimainkan oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap berbagai kegiatan perekonomian masyarakat seperti pertanian, perikanan, industri dan sebagainya. Sedangkan nilai kayu sebagai perekat kekompakan ekosistem hutan lindung yang harus disingkirkan melalui praktek tambang terbuka bernilai tak kurang dari Rp 27,5 trilliun.
Siti Maimunah mengatakan, Tambang di hutan lindung juga berdampak dalam bidang sosial masyarakat setempat yaitu telah terjadi kriminalisasi rakyat dengan adanya pelanggaran hak karena tidak dikonsultasikan dengan rakyat masalah ganti rugi tidak layak dan dipaksa menyerahkannya.” Selanjutnya dikatakannya bahwa limbah dalam jumlah besar dari 100 ton, 98 ton limbah berupa logam berat sehingga timbul masalah gangguan kesehatan atau kehilangan mata pencaharian. Sedangkan penutupan tambang belum ada peraturan sehingga perusahaan pergi begitu saja setelah selesai beroperasi.
Berkaitan dengan pemulihan setelah adanya dampak pertambangan, Siti Maimunah mengatakan bahwa dari kenyataan pertambangan sebelumnya pemerintah tidak mampu memulihkan dampak-dampak di wilayah bekas pertambangan. Hal-hal mendasar dalam proses pemulihan tidak dilakukan konsultasi dengan rakyat seperti mengenai penutupan tambang, perusahaan meninggalkan rakyat secara permanen dalam kerusakan lingkungan dan kehilangan mata pencaharian.
Sedangkan Untuk bisa memulihkan kondisi kawasan pertambangan seperti semula dibutuhkan waktu dua kali umur pengoperasian pertambangan. Untuk jelasnya, berikut potensi hilangnya nilai ekologi akibat praktek tambang terbuka di hutan lindung seluas 925.000 ha.
SUMBER m.fernando blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar